Talasemia merupakan penyakit keturunan (kelainan genetik) karena kelainan sel darah merah yang mudah pecah akibat kekurangan protein pembentuk haemoglobin. Kelainan ini menyebabkan penderita kekurangan darah sehingga pada kondisi yang berat harus dilakukan transfusi darah. Kelainan ini dapat dicegah melalui deteksi dini.
Talasemia diturunkan melalui perkawinan antara pasangan yang pembawa sifat (carrier). Pasangan pembawa sifat talasemia kelihatan sehat (tidak bergejala), karena kelainan ini hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin.
- Morula IVF Indonesia Melayani Bayi Tabung selama 25 Tahun Melayani Masyarakat Indonesia dan Pasien Luar Negeri : Indonesia Telah Mengalahkan Negara Tetangga Menjadi Pusat Layanan Fertilitas di Asia Tenggara
- PT. Morula Indonesia Gelar Seminar Awam Pengobatan Kanker Serviks agar Tidak Berpengaruh pada Kesuburan
- MOMS & DADS TALKSHOW - Peran Asupan Gizi pada Kesuburan Pria dan Wanita?
- Morula IVF Indonesia Tingkatkan Kualitas Hidup Keluarga Indonesia, Hadirkan Anak Sehat Melalui Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB)
- Pentingnya Menjaga Kesehatan Organ Intim Wanita
“Penyakit Talasemia Mayor belum bisa disembuhkan dan harus transfusi darah seumur hidup, tetapi dapat dicegah dengan menghindari pernikahan sesama pembawa sifat Talasemia. Oleh sebab itu, deteksi dini sangat penting untuk mengetahui status seseorang apakah dia pembawa sifat atau tidak; karena pembawa sifat Talasemia sama sekali tidak bergejala dan dapat beraktivitas normal. Idealnya, dilakukan deteksi dini sebelum memiliki keturunan, melalui riwayat keluarga penderita talasemia dan melakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya pembawa sifat talasemia sedini mungkin. Dengan deteksi dini maka pernikahan antar sesama pembawa sifat dapat dihindari,” jelas Dr. dr. Arie A. Polim, D.MAS, MSc, Sp.OG(K)-FER , Direktur Medis PT. Morula Indonesia.
Untuk mengetahui seorang penderita talasemia maka dilakukan pemeriksaan riwayat penyakit keluarga, adanya keluhan pucat dan lemas karena anemia, gangguan pertumbuhan, gangguan kecerdasan, gangguan nutrisi, adanya riwayat transfusi darah berulang, dan kelainan pada pemeriksaan hematologi.
“Prevalensi talasemia di Indonesia sekitar 3 hingga 8 persen. Rumah Sakit Pemerintah Pusat mencatat setidaknya ada 20 kasus setiap tahunnya. Jika kedua orang tua merupakan pembawa gen talasemia minor, maka kemungkinan bayinya akan menjadi pembawa sifat (carrier) sebesar 50%, kemungkinan sehat sempurna 25% dan kemungkinan menderita talasemia mayor sebesar 25%,” ujar Dr. dr. Arie A. Polim, D.MAS, MSc, Sp.OG(K)-FER.
Berdasarkan data dari Yayasan Talasemia Indonesia, terjadi peningkatan kasus talasemia yang terus menerus. Sejak tahun 2012 sebanyak 4.896 kasus hingga bulan Juni Tahun 2021 data penyandang talasemia di Indonesia sebanyak 10.973 kasus, dan Propinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan penderita terbanyak.
Dari sisi pembiayaan, menurut data BPJS Kesehatan 2020 beban pembiayaan kesehatan sejak tahun 2014 sampai tahun 2020 terus meningkat. Talasemia menempati posisi ke-5 di antara penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke yaitu 2,78 triliun tahun 2020.
Secara klinis ada tiga jenis talasemia, yakni talasemia mayor, talasemia intermedia, dan talasemia minor/trait/pembawa sifat.
Pasien talasemia mayor memerlukan transfusi darah secara rutin seumur hidup (2-4 minggu sekali). Berdasarkan hasil penelitian Eijkman tahun 2012, diperkirakan angka kelahiran bayi dengan talasemia mayor sekitar 20% atau 2.500 anak dari jumlah penduduk ± 240 juta.
Pasien talasemia intermedia membutuhkan transfusi darah, tetapi tidak rutin. Sementara pasien talasemia minor/trait/pembawa sifat secara klinis sehat, hidup seperti orang normal secara fisik dan mental, tidak bergejala dan tidak memerlukan transfusi darah.
Sejalan dengan meningkatnya insiden talasemia di Indonesia, maka semakin banyak pasien yang bergantung pada transfusi darah sebagai pengobatan seumur hidup.
Apabila sudah terjadi pernikahan sesama pembawa sifat, maka salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah melakukan penapisan kromosom pembawa penyakit melalui proses bayi tabung (IVF) yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kromosom melalui teknologi PGT-M (Pre-Implantation Genetic Test for Monogenic disorder).
Teknologi ini dapat mendeteksi mutase single-gene (monogenic) yang dapat mengakibatkan munculnya penyakit genetik bawaan seperti Thalassemia, Spinal Muscular Atropy dan Cystic Fibrosis. Teknologi PGT-M juga dapat membantu pasangan mendapatkan keturunan dengan tingkat risiko rendah untuk terkena Thalassemia, Spinal Muscular Atropy, Cystic Fibrosis dan penyakit genetik lain.
“Dengan teknologi ini, kami dapat memberikan secercah harapan kepada pasien bahwa mereka dapat memiliki bayi yang sehat. Demikian juga, pasangan dengan talasemia minor dapat dipastikan memiliki anak-anak yang terbebas dari talasemia dan hidup sehat,” tutup Dr. dr. Arie A. Polim, D.MAS, MSc, Sp.OG(K)-FER.