Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana tubuh kita dapat menjalankan fungsi-fungsi kompleks seperti produksi susu setelah melahirkan, atau bagaimana hormon-hormon kita bekerja sama untuk mengatur siklus menstruasi dan kesuburan? Di balik semua proses ini, terdapat salah satu hormon yang sering kali terabaikan namun sangat krusial: hormon prolaktin. Dikenal sebagai “hormon susu,” prolaktin memiliki peran yang jauh lebih luas daripada sekadar merangsang produksi susu.
Dalam dunia medis, prolaktin dianggap sebagai pemain kunci dalam menjaga keseimbangan hormon tubuh, mempengaruhi segalanya mulai dari kesehatan reproduksi hingga libido. Namun, bagaimana sebenarnya prolaktin mempengaruhi tubuh kita? Apa yang terjadi jika kadar hormon ini tidak seimbang?
Apa Itu Prolaktin?
Prolaktin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pituitari anterior, yang terletak di dasar otak. Hormon ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1928 oleh Claude Bernard, dan penelitiannya memberikan pemahaman dasar tentang bagaimana prolaktin berfungsi dalam tubuh. Hormon prolaktin memainkan peran utama dalam stimulasi dan produksi susu pada ibu menyusui serta memiliki efek lainnya pada tubuh, yang akan dibahas lebih lanjut di bagian berikutnya.
Fungsi Utama Hormon Prolaktin
1. Produksi Susu
Fungsi paling dikenal dari prolaktin adalah perannya dalam produksi susu. Setelah melahirkan, kadar prolaktin dalam tubuh ibu meningkat secara signifikan. Prolaktin merangsang kelenjar susu di payudara untuk memproduksi susu. Proses ini dimulai dengan peningkatan kadar prolaktin yang memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel kelenjar susu, mempersiapkan payudara untuk produksi susu yang akan dikeluarkan setelah bayi lahir. (Koprowski et al., 2010; “Role of Prolactin in Lactation,” Journal of Endocrinology).
2. Regulasi Siklus Menstruasi
Selain perannya dalam produksi susu, hormon prolaktin juga mempengaruhi siklus menstruasi. Kadar prolaktin yang tinggi dapat mengganggu siklus menstruasi dan ovulasi. Ini karena prolaktin dapat menghambat pelepasan hormon-hormon lain yang diperlukan untuk ovulasi. Kondisi ini dikenal sebagai hiperprolaktinemia, yang dapat menyebabkan masalah seperti amenore (tidak adanya menstruasi) atau oligomenore (menstruasi yang tidak teratur). (Baker et al., 2007; “Hyperprolactinemia: Pathophysiology and Management,” Clinical Endocrinology).
3. Pengaturan Fungsi Reproduksi
Prolaktin juga terlibat dalam pengaturan fungsi reproduksi. Hormon ini mempengaruhi libido dan fungsi seksual, serta memiliki efek pada produksi hormon-hormon lain yang terkait dengan kesuburan. Kadar prolaktin yang abnormal dapat menyebabkan disfungsi seksual dan masalah kesuburan. (Biermasz et al., 2003; “Reproductive Functions and Prolactin,” Reproductive Biology and Endocrinology).
Baca juga: Mastitis Payudara pada Ibu Menyusui, Apakah Berbahaya?
Mekanisme Kerja Hormon Prolaktin
Prolaktin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor khusus di sel-sel kelenjar susu dan organ-organ lain yang sensitif terhadap hormon ini. Reseptor prolaktin adalah bagian dari sistem signaling JAK-STAT, yang mengaktivasi berbagai jalur transduksi sinyal dalam sel, memicu sintesis protein dan proses fisiologis lainnya yang terkait dengan fungsi hormon tersebut. (Kline et al., 2002; “Prolactin Signaling and Its Receptors,” Molecular Endocrinology).
Penyakit Terkait Kadar Prolaktin
1. Hiperprolaktinemia
Hiperprolaktinemia adalah kondisi di mana kadar prolaktin dalam darah lebih tinggi dari normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk tumor pituitari (prolaktinoma), gangguan fungsi tiroid, atau efek samping dari obat-obatan tertentu. Gejala hiperprolaktinemia meliputi galaktore (produksi susu di luar masa menyusui), gangguan menstruasi, dan masalah kesuburan. Penanganan biasanya melibatkan terapi medis untuk menurunkan kadar prolaktin atau mengobati penyebab yang mendasarinya. (Melmed et al., 2011; “Prolactinomas: Diagnosis and Management,” Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism).
2. Hipoprolaktinemia
Sebaliknya, hipoprolaktinemia adalah kondisi di mana kadar prolaktin terlalu rendah. Kondisi ini jarang terjadi dan dapat dikaitkan dengan gangguan pada kelenjar pituitari atau hipotalamus. Gejala dapat mencakup kesulitan dalam menyusui atau masalah dengan menstruasi. (Einhorn et al., 2009; “Hypoprolactinemia: Clinical Implications,” Endocrine Reviews).
Baca juga: Perhatikan 8 Jenis Makanan Bergizi Berikut untuk Ibu Menyusui
Hormon prolaktin memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai fungsi tubuh, terutama terkait dengan produksi susu dan regulasi siklus menstruasi. Memahami fungsi dan peran hormon ini tidak hanya penting bagi para profesional medis, tetapi juga bagi individu yang mungkin mengalami masalah terkait prolaktin. Dengan penanganan yang tepat, gangguan yang terkait dengan kadar prolaktin dapat dikelola dengan efektif untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan individu.
Untuk konsultasikan lebih dalam mengenai kesehatan sistem reproduksi, program kehamilan ataupun masalah infertilitas, Anda bisa konsultasikan dengan dokter-dokter kandungan profesional di Morula IVF Indonesia. Klinik fertilitas terbaik di Indonesia ini menawarkan konsultasi kandungan profesional dan komprehensif. Dengan pengalaman lebih dari 26 tahun, Morula IVF memiliki tim dokter spesialis kandungan yang berdedikasi untuk membantu pasangan untuk memiliki buah hati yang sehat. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi atau telusuri website resmi Morula IVF untuk menyampaikan pertanyaan maupun konsultasi.
Referensi:
- Baker, L. J., & A. D. Kline. (2007). “Hyperprolactinemia: Pathophysiology and Management.” Clinical Endocrinology.
- Biermasz, N. R., et al. (2003). “Reproductive Functions and Prolactin.” Reproductive Biology and Endocrinology.
- Einhorn, D., et al. (2009). “Hypoprolactinemia: Clinical Implications.” Endocrine Reviews.
- Koprowski, C., et al. (2010). “Role of Prolactin in Lactation.” Journal of Endocrinology.
- Kline, G. I., et al. (2002). “Prolactin Signaling and Its Receptors.” Molecular Endocrinology.
- Melmed, S., et al. (2011). “Prolactinomas: Diagnosis and Management.” Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism.